by puji on Tue May 13, 2008 8:34 am
Bismillahirrahmaanirrahiim
Akhi Riwuds yang semoga senantiasa dirahmati Allah....
Ketika kita membaca dan berusaha memahami sebuah makalah, tulisan ataupun buku, tentu kita harus memahami juga makna dari istilah-istilah yang digunakan penulis. Kekurangpahaman makna istilah-istilah tersebut dapat menyebabkan kita salah paham dengan maksud yang disampaikan penulis. Istilah motor dalam dunia elektronik tentu berbeda makna dengan istilah motor yang digunakan oleh para politikus, istilah konduktor dalam elektronik berbeda makna dengan istilah konduktor yang digunakan oleh para penggila musik.
Demikian juga kalau kita kurang memahami istilah-istilah syar'i akan dapat keliru ketika memahami ayat, hadits, atsar para salafus shalih maupun tulisan-tulisan para ulama. Misalnya saja tabdi', kadang diungkapkan secara 'am kadang secara ta'yin, tentu ini beda konsekuensinya. Kadang sebuah nash diungkapkan dengan mutlak, terkadang ada taqyidnya di nash yang lain, kadang sebuah kata bermaka mujmal dan ada yang menjelaskannya di nash yang lain, ada nash yang bermakna 'am ada kata yang bermakna khos.
Saya ambil contoh sebuah nash, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi Laailaha illallah Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali dengan hak Islam [HR.Bukhari dan Muslim]
Apakah ini berarti bahwa orang kafir yang tidak mau masuk Islam pasti diperangi? Tidak ada pilihan lain? Lalu kafir jenis mana yang diperangi?
Dalam nash lain dijelaskan bahwa memerangi bukan satu-satunya pilihan, akan tetapi ada opsi membayar jizyah sebagaimana disebutkan dalam ayat:
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk".(At Taubah: 29)
Kalau kita hanya berpegang dengan 1 hadits diatas tentu akan berkesimpulan salah karena menganggap tidak ada opsi lain. Jadi hadits diatas yang bermakna 'am dikhususkan ayat diatas yakni bahwasanya perintah diperangi hanya untuk yang tidak mau masuk Islam dan tidak mau membayar jizyah.
Yang saya sebutkan diatas itu hanya sebagai sebuah contoh kasus saja, oleh karena itu untuk memahami nash-nash perlu ilmu yang dinamakan ilmu ushul fikih. Contoh lain misalnya kewajiban shalat, misalnya shalat duhur. Apakah shalat duhur wajib bagi setiap muslim? Ternyata tidak, wajib hanya yang sudah baligh saja. Apakah setiap hari wajib shalat duhur? Ternyata tidak, bagi muslimah ada kondisi dimana justru shalat duhur (dan shalat lainnya) tidak diperkenankan yaitu ketika kondisi haidh, apakah setiap jam bisa shalat duhur? Ternyata tidak, kewajiban shalat duhur hanya ketika sudah masuk waktunya. Jadi pernyataan bahwa shalat duhur itu wajib adalah benar, akan tetapi ada rinciannya seperti diatas. Oleh karena itu kita harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing.
Demikian juga istilah-istilah yang sering kita temui dalam ayat, hadits, atsar dan fatwa ulama...
Kita tentu harus memahami apa itu definisi Sunnah, definisi bid'ah, bedanya bid'ah dengan maslahah mursalah. Kemudian dalam dakwah, ada wasilah dakwah ada ushlub dalam dakwah, mana yang boleh dan mana yang tidak tentu harus kita pahami juga. Kalau kita kurang memahami dengan benar definisi-definisi tersebut sudah pasti akan salah dalam memahami kandungan ayat, hadits, atsar maupun fatwa-fatwa para ulama. Sebagai contoh maksud bahwa termasuk 72 golongan, sependek yang saya ketahui, saya belum pernah mendapatkan ada ulama Ahlus Sunnah yang berpandangan bahwa 72 golongan maksudnya kafir. Ancaman masuk neraka tidak identik dengan pasti masuk neraka, ancaman masuk neraka tidak identik dengan kafir.
.........Kita semua akan dihisab diakhirat, perbuatan-perbuatan kita akan dinilai dengan standar yang telah Allah tentukan, Allah telah menjelaskan standar tersebut dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah mungkin kita akan dinilai dengan sesuatu aturan yang ambigu, tidak jelas maksudnya apa, bisa ini dan bisa itu? Tentu aturan-aturan itu telah jelas, hanya saja terkadang ilmu kita masih sangat terbatas karena usaha kita dalam belajar ilmu syar'i juga masih sangat minimal.
Yang pasti pertama kita harus mengikhlaskan niat ketika kita belajar agama, belajar agama untuk diamalkan, bukan untuk debat, untuk nggaya dan lain sebagainya dari motivasi-motivasi dunia. Kemudian setelah meluruskan niat, kita belajar agama dari hal-hal yang pokok kemudian baru yang cabang-cabang. Jangan kita belajar dari hal-hal yang cabang sementara yang pokok diabaikan. Kadang ada sebagian orang yang begitu getol belajar perbedaan pendapat ini dan itu, merasa bangga ketika bisa menyampaikan perbedaan pendapat-pendapat tersebut, tetapi ketika ditanya yang benar yang mana kemudian bingung tidak bisa mentarjih, ini adalah salah satu metode belajar yang salah bahwa kurang menguatkan pondasi. Seseorang yang belajar yang cabang sebelum yang pokok seperti ingin metik buah tetapi naik pohonnya melalui ranting-bukan pokoknya? mungkinkah? Kemudian juga perlu ilmu ushul fikih, bisa saja seseorang hafal sekian juz ayat, sekian hadits tetapi kalau dia tidak memahami ushul fikih, maka ilmunya tersebut seperti sapu lidi yang berserakan karena tidak diikat, walaupun terlihat banyak akan tetapi kurang bermanfaat dalam memahami hukum-hukum syar’i, beda dengan yang diikat dengan ilmu ushul fikih. Kemudian tentunya ilmunya diamalkan.
Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang pas.
Saudaramu, Puji Hartono