Tentang Fatwa Ulama Sunnah

Tentang Fatwa Ulama Sunnah

by Riwuds on Sun May 11, 2008 6:00 pm

Setelah saya membaca download tentang Fatwa ulama sunnah, ada beberapa hal yang mungkin saya terusik untuk menanggapinya.
1. Menganggap JT adalah masuk ke 72 golongan yang tidak selamat = mengkafirkan. Kalau memang pengikut Rasulullah tentu tidak sembarang mengambil fatwa demikian. Rasul melarang mengucapkan hal itu kepada sesama saudara muslim. Apalagi jelas-jelas masih 1 Tuhan Allah SWT, 1 Rasul Muhammad SAW, 1 Laailaaha Illallaah, berusaha menjalankan sunnah rasul.
2. Kalau memang salah, apakah memang sudah tahu dengan benar? Ulama yang berfatwa kan sudah tinggi ilmunya dan sudah berilmu (berarti sudah wajib ikut khuruj), mengapa tidak ikut khuruj dan meluruskan apa yang dirasa berbelok dari kaidah dan jalan/ajaran islam? Belum pernah ikut khuruj koq bisa berfatwa masuk 72 golongan sesat.
3. Apakah mensarankan datang ke masjid di India itu betul-betul karena dalam masjid itu ada makamnya? Adakah masjid selain di India itu yang hidup amalan rasulullah dan tidak ada makam di dalamnya tetapi tidak dikunjungi oleh JT?
4. Kalau menganggap tatacara amalan JT itu bid'ah, berarti cara dakwah di perpustakaan-islam.com ini juga bid'ah. Trus bagaimana dengan beberapa pendapat bahwa internet ini adalah salah satu jalan yang digunakan dajjal untuk merusak aqidah umat islam?
5. Islam bagaikan 1 tubuh. Kalau ada jalan dakwah yang menyimpang oleh saudara muslim, alangkah indahnya bila kita yang tahu itu berusaha membenahinya, bukan malah menyalahkan dan mengkafirkan, atau malah mengklaim kebenaran diri.
6. Ahlussunah = yang menjalankan sunnah. Jamaah = umat. Apakah pantas merasa ahlussunah wal jamaah bila tabiat kita bertentangan dengan rasulullah yang tidak pernah menyalahkan dalam berdakwah dan melarang mengkafirkan saudara muslim?
7. Apa bedanya dengan jamaah ahmad musadeq, ahmadiyah qodiyan, dan aliran sesat lainnya bila berani mengklaim diri atas kebenaran ajaran yang dianut dan mengkafiran orang diluar jamaahnya?
8. Beranikah kita bertanggungjawab di akhirat kelak apabila ada saudara muslim yang menuntut kita karena tidak pernah ada yang mengajak berjamaah shalat, tidak pernah memberitahu kebesaran Allah SWT? Sedangkan mereka tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh manakala ingin meningkatkan keimanannya? Beranikah kita bertanggungjawab di akherat kelak ketika ada saudara muslim yang murtad karena tidak ada saudara muslim yang lain memperhatikannya?
Riwuds
 

Re: Tentang Fatwa Ulama Sunnah

by puji on Tue May 13, 2008 8:34 am

Bismillahirrahmaanirrahiim

Akhi Riwuds yang semoga senantiasa dirahmati Allah....
Ketika kita membaca dan berusaha memahami sebuah makalah, tulisan ataupun buku, tentu kita harus memahami juga makna dari istilah-istilah yang digunakan penulis. Kekurangpahaman makna istilah-istilah tersebut dapat menyebabkan kita salah paham dengan maksud yang disampaikan penulis. Istilah motor dalam dunia elektronik tentu berbeda makna dengan istilah motor yang digunakan oleh para politikus, istilah konduktor dalam elektronik berbeda makna dengan istilah konduktor yang digunakan oleh para penggila musik.

Demikian juga kalau kita kurang memahami istilah-istilah syar'i akan dapat keliru ketika memahami ayat, hadits, atsar para salafus shalih maupun tulisan-tulisan para ulama. Misalnya saja tabdi', kadang diungkapkan secara 'am kadang secara ta'yin, tentu ini beda konsekuensinya. Kadang sebuah nash diungkapkan dengan mutlak, terkadang ada taqyidnya di nash yang lain, kadang sebuah kata bermaka mujmal dan ada yang menjelaskannya di nash yang lain, ada nash yang bermakna 'am ada kata yang bermakna khos.

Saya ambil contoh sebuah nash, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi Laailaha illallah Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali dengan hak Islam [HR.Bukhari dan Muslim]

Apakah ini berarti bahwa orang kafir yang tidak mau masuk Islam pasti diperangi? Tidak ada pilihan lain? Lalu kafir jenis mana yang diperangi?

Dalam nash lain dijelaskan bahwa memerangi bukan satu-satunya pilihan, akan tetapi ada opsi membayar jizyah sebagaimana disebutkan dalam ayat:
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk".(At Taubah: 29)

Kalau kita hanya berpegang dengan 1 hadits diatas tentu akan berkesimpulan salah karena menganggap tidak ada opsi lain. Jadi hadits diatas yang bermakna 'am dikhususkan ayat diatas yakni bahwasanya perintah diperangi hanya untuk yang tidak mau masuk Islam dan tidak mau membayar jizyah.

Yang saya sebutkan diatas itu hanya sebagai sebuah contoh kasus saja, oleh karena itu untuk memahami nash-nash perlu ilmu yang dinamakan ilmu ushul fikih. Contoh lain misalnya kewajiban shalat, misalnya shalat duhur. Apakah shalat duhur wajib bagi setiap muslim? Ternyata tidak, wajib hanya yang sudah baligh saja. Apakah setiap hari wajib shalat duhur? Ternyata tidak, bagi muslimah ada kondisi dimana justru shalat duhur (dan shalat lainnya) tidak diperkenankan yaitu ketika kondisi haidh, apakah setiap jam bisa shalat duhur? Ternyata tidak, kewajiban shalat duhur hanya ketika sudah masuk waktunya. Jadi pernyataan bahwa shalat duhur itu wajib adalah benar, akan tetapi ada rinciannya seperti diatas. Oleh karena itu kita harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing.

Demikian juga istilah-istilah yang sering kita temui dalam ayat, hadits, atsar dan fatwa ulama...
Kita tentu harus memahami apa itu definisi Sunnah, definisi bid'ah, bedanya bid'ah dengan maslahah mursalah. Kemudian dalam dakwah, ada wasilah dakwah ada ushlub dalam dakwah, mana yang boleh dan mana yang tidak tentu harus kita pahami juga. Kalau kita kurang memahami dengan benar definisi-definisi tersebut sudah pasti akan salah dalam memahami kandungan ayat, hadits, atsar maupun fatwa-fatwa para ulama. Sebagai contoh maksud bahwa termasuk 72 golongan, sependek yang saya ketahui, saya belum pernah mendapatkan ada ulama Ahlus Sunnah yang berpandangan bahwa 72 golongan maksudnya kafir. Ancaman masuk neraka tidak identik dengan pasti masuk neraka, ancaman masuk neraka tidak identik dengan kafir.

.........Kita semua akan dihisab diakhirat, perbuatan-perbuatan kita akan dinilai dengan standar yang telah Allah tentukan, Allah telah menjelaskan standar tersebut dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah mungkin kita akan dinilai dengan sesuatu aturan yang ambigu, tidak jelas maksudnya apa, bisa ini dan bisa itu? Tentu aturan-aturan itu telah jelas, hanya saja terkadang ilmu kita masih sangat terbatas karena usaha kita dalam belajar ilmu syar'i juga masih sangat minimal.

Yang pasti pertama kita harus mengikhlaskan niat ketika kita belajar agama, belajar agama untuk diamalkan, bukan untuk debat, untuk nggaya dan lain sebagainya dari motivasi-motivasi dunia. Kemudian setelah meluruskan niat, kita belajar agama dari hal-hal yang pokok kemudian baru yang cabang-cabang. Jangan kita belajar dari hal-hal yang cabang sementara yang pokok diabaikan. Kadang ada sebagian orang yang begitu getol belajar perbedaan pendapat ini dan itu, merasa bangga ketika bisa menyampaikan perbedaan pendapat-pendapat tersebut, tetapi ketika ditanya yang benar yang mana kemudian bingung tidak bisa mentarjih, ini adalah salah satu metode belajar yang salah bahwa kurang menguatkan pondasi. Seseorang yang belajar yang cabang sebelum yang pokok seperti ingin metik buah tetapi naik pohonnya melalui ranting-bukan pokoknya? mungkinkah? Kemudian juga perlu ilmu ushul fikih, bisa saja seseorang hafal sekian juz ayat, sekian hadits tetapi kalau dia tidak memahami ushul fikih, maka ilmunya tersebut seperti sapu lidi yang berserakan karena tidak diikat, walaupun terlihat banyak akan tetapi kurang bermanfaat dalam memahami hukum-hukum syar’i, beda dengan yang diikat dengan ilmu ushul fikih. Kemudian tentunya ilmunya diamalkan.

Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang pas.

Saudaramu, Puji Hartono
puji
 
Posts: 10
Joined: Mon Aug 06, 2007 2:19 pm
Location: Bandung

Re: Tentang Fatwa Ulama Sunnah

by Riwuds on Tue May 27, 2008 4:31 pm

Alhamdulillaah. Ditanggapi juga.
Kata-kata tidak ada yang tidak pas.
Cuma kalau memang harapannya seperti itu, maka hal-hal yang memancing perdebatan itu mbo' ya tidak usah ditampilkan.
Bukankah pengunjung disini bukan dari kalangan intelektual saja?
Tampilkan saja hal-hal yang menuju kemaslahatan. Kan enak.
Terima kasih.
Sukses buat redaksi.
Riwuds
 

Re: Tentang Fatwa Ulama Sunnah

by [email protected] on Tue May 27, 2008 5:16 pm

Assalammu'alaikum wr.wb.

Sebenarnya saya agak 'bingung' nih akhi, kok topik pembahasannya tentang 'open source' tapi kok isinya tentang perdebatan soal mana yang shahih tentang akhli kitab itu ya?
Waduh, mohon maafkan saya ya akhi..soalnya saya ini masih hijau belajar islam, tetapi saya ingin kehidupan saya menjadi islami. Jadi saya kirain perdebatan itu tentang bagaimana umat islam memanfaatkan teknologi sebagai cara mendekatkan diri pada Allah SWT. Jadi ingat nih pengalaman saya waktu di pesantren, di suatu desa di wilayah Tasikmalaya. Ustad disana justru mengajarkan santri-santrinya agar tidak 'gaptek' karena dengan teknologi itulah justru umat islam bisa melihat ke dalam dirinya sendiri dan juga melihat bagaimana pandangan kaum non-muslim terhadap umat islam sendiri. Mosok bisanya cuma mengkritiiiik aja, tapi kok kalau dikritik gak mau sih? Misalnya saya pernah tinggal satu rumah dengan teman saya yang menurut saya sudah 'kaafah' keislamannya. Saya sendiri heran bagaimana ia bisa meninggalkan kehidupan duniawi misalnya tidak menggunakan HP dan juga tidak menonoton TV apalagi mendengarkan musik dari radio. Meskipun begitu, ukhti itu sama sekali tidak pernah melarang saya melakukan semua itu, seperti menonton TV, mendengar radio, dst. Tp ia berpesan begini: 'ukti maya, tolong jangan keras-keras ya setel radio-nya karena ana sedang shalat dhuhur'; wah saya jadi ingat kenapa ya saya menunda sholat dhuhur, karena suara-suara dari luar kos-kosan kami sangat keras, seperti suara anak-anak bermain, tukang jualan keliling dst, padahal saya ada dikejar 'deadline' untuk mengumpulkan tugas dosen saya yang kuliahnya dimulai jam 15.00, jadi saya lebih mendahulukan mengerjakan tugas kuliah saya dulu dengan komputer yang dibantu menenangkan hati yang deg-degan dengan menyetel MP3. Waaah..tapi alhamdulillah deh, saya jadi diingatkan untuk shalat. Coba kalau seandainya mereka yang bisa menahan diri seperti dia, bagaimana ya? Ternyata ukhti itu juga terganggu oleh suara MP3 saya. Jadi dalam hal ini, siapa nih yang dipersalahkan? Apakah saya salah? Saya tidak lupa kok shalat dhuhur, cuma menundanya karena saya takut giliran listrik padam dan tugas paper kuliah saya belum selesai.

Itu dulu saja kegelisahan hati saya.

Wassalammu'alaikum wr.wb.

ukhti maya
[email protected]
 


Return to Open Source

Who is online

Users browsing this forum: No registered users and 1 guest